BREAKING

Kamis, 28 Agustus 2014

Komnas HAM Papua: Mayat Misterius itu Ketua KNPB Sorong Raya

- Kabidhumas: Pihak Keluarga Bisa Saja Menduga Namun Polisi Harus Berdasarkan Fakta dan Data

JAYAPURA- Kendati Polda Papua belum merilis siapa identitas mayat yang ditemukan nelayan di pulau Nana, Distrik Doom, Kabupaten Sorong, namun Komnas HAM perwakilan Papua, telah mendapatkan informasi soal pembunuhan terhadap mayat tersebut, bahwa mayat tersebut merupakan Ketua KNPB Sorong Raya Martinus Yohame.
Pasalnya PLT.Kepala Kantor Perwakilan Komnas Ham Papua Frits Ramandey mengungkapkan bahwa pihaknya menerima pengaduan yang diberikan oleh anggota KNPB sorong ke Komnas HAM Papua, sejak 26 Agutus lalu ada mayat yang ditemukan dimasukkan ke dalam karung, di ikat kaki dan tangan.
Oleh sebab itu, Frits meminta, agar Polda Papua melalui Polres Sorong harus berhasil mengungkap kasus ini, siapa otak dibelakang pembunuhan sadis ini.
�Kita mendapatkan informasi dari anggota KNPB Sorong, mereka juga menceritakan sebelumnya tanggal 19 Agustus, yang bersangkutan (Martinus Yohame), masih ada, dan memberikan keterangan pers, dan pernyataan terkait dengan kunjungan Presiden SBY ke Sail Raja Ampat,�
ungkapnya, saat ditemui di ruang kerjanya,Kamis (28/8),kemarin.
Lanjut Frits ramandey, bahwa sejak yang bersangkutan usai memberikan keterangan pers, 19 Agustus lalu, sejak saat itulah yang bersangkutan tidak ada lagi sampai ditemukan di Pulau Nana, Distrik Doom, tepatnya hari Selasa (26/8) lalu. �Kita lihat motif pembunuhan ini, maka dilakukan oleh kelompok terlatih,�tuturnya.
Frits Ramandey menjelaskan mengapa kasus ini menjadi konsentrasi dari Komnas HAM Papua, karena kejadian ini berkenan dengan kendatangan Presiden SBY di Sorong, maka Martinus Yohame, sebagai aktivis yang memberikan keterangan pers terkait dengan kedatangan Presiden. Dan ini wajar dimana ketika ada kunjungan dari tokoh negara, sering ada keterangan pers atau aksi, untuk mengingatkan Presiden terkait dengan kondisi HAM dan lingkungan. �Jadi ini sebenarnya hal yang baik, dalam rangka mengingatkan negera terkait dengan kondisi di Papua Barat,� tuturnya.
Frits, melihat dari rentetan peristiwa, dimana tanggal 19 Agustus yang bersangkutan memberikan keterngan pers, tanggal 26 Agustus ditemukan tewas, karena itu terkait dengan undang-undang no.39 tahun 1999, tentang HAM pasal 33, dimana setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa, jadi jika kondis ini dibiarkan, maka akan sama dengan kasus-kasus sebelumnya pada periode orde baru, atau sebut saja seperti kematian Theis Hiyo Eluai.
�Kita minta agar Polda Papua melalui Polres Sorong, untuk segera mengungkap, siapa dalangnya,�Dalam waktu dekat, jika tidak maka, akan memalukan institusi Polri,� tukasnya.
Bahkan kata Frits, jika ini dibiarkan lagi, maka akan menjadi preseden buruk bagi kondisi HAM di Papua, terutama terhadap para aktivis, dimana masyarakat internasional akan menilai jika negara tidak memberikan perlindungan kepada aktivis.
Sementara itu mayat seorang warga yang diduga Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong Raya, Marthinus Yohame, akhirnya gagal diotopsi setelah Kepala Suku Wamena yang ada di Sorong, Tias Kogoya, mengambil jenazah tersebut untuk kemudian dilakukan pemakaman di Taman Pemakaman Umum Kilo 10 Sorong, Rabu (27/8) kemarin.
Dengan tidak dilakukannya otopsi ini, otomatis pihak kepolisian akan kesulitan mengungkap penyebab pembunuhan mayat yang diduga bernama MY tersebut. Namun demikian, Kabidhumas Polda Papua, Kombes Pol Sulistyo Pudjo tidak memberikan sinyal bahwa kasus tersebut akan dihentikan penyelidikannya meskipun akan semakin sulit.
�Kemarin beberapa orang yang mewakili keluarga korban dan dipimpin kepala suku mereka datang ke Polres Kota Sorong. Mereka bertemu Kapolres dan Kasat Reskrim dan menyatakan menolak dilakukan otopsi. Padahal polisi menjelaskan kepada keluarga, otopsi adalah syarat mutlak dalam proses penyelidikan kasus dugaan pidaan penyebab, waktu dan modus, dan bukti-bukti di badan korban harus ditentukan dari otopsi,�
kata Pudjo kepada wartawan di ruangannya, Kamis (28/8).
Sebagaimana yang telah diberitakan sebelumnya bahwa dari otopsi itu bisa ketahui penyebab kematian korban, apakah karena dipukul dengan benda tumpul, terkena sabetan atau tikaman benda tajam atau bahkan bisa diketahui bahwa korban ditembak dan lain-lain.
�Nanti nanti kalau dihentikan penyidikannya, kasus yang bisa dihentikan itu pertama karena tidak cukup bukti, kasusnya telah kadaluarsa, atau tersangka ternyata telah meninggal dunia. Nah untuk kasus ini belum bisa diarahkan ke sana, jangan-jangan nanti tersangkanya muncul, ada, jadi tidak bisa begitu saja dihentikan,�tambahnya.
Mengenai pihak keluarga dan kepala suku yang sudah mengambil mayat korban atas nama keluarga sehingga bisa disebutkan bahwa korban adalah Marthinus Yohame, Kabidhumas masih belum meyakininya. Pasalnya, kata Kabidhumas, pihak keluarga bisa saja menduga namun pihak kepolisian harus berdasarkan fakta dan data. Jika berdasarkan ciri fisik yang terlihat, memang keluarga korban merasa bahwa mayat tersebut adalah MY.
�Tidak bisa dipastikan karena sudah berapa lama dalam air. Tentu proses penyelidikan dan penyidikan sangat terhambat. Namun kita masih akan melakukan penyelidikan, polisi menyidik bersifat profesional yakni harus berdasarkan bukti, bukan hanya informasi,�
tandasnya.(cak/rib/wen
Jum'at, 29 Agustus 2014 , 23:17:00, Sumber :  CEPOS

Rabu, 27 Agustus 2014

DUKA TANAH PAPUA


 

- KNPB SERUKAN DUKA NASIONAL SELAMA 3 HARI ATAS TERBUNUHNYA MARTINUS YOHAME KETUA KNPB WILAYAH SORONG

JAYAPURA. Terkait penculikan dan pembunuhan terhadap ketua KNPB wilayah Sorong Martinus Yohame pada tanggal 20 Agustus dan ditemukan tewas mengenaskan di Rumah Sakit Umum kota sorong pada tanggal 26 Agustus 2014. 
Ketua KNPB wilayah sorong diculik dan dibunuh secara sadis serta tidak manusiawi oleh Negara klonial tanpa menghargai hak hidup orang lain. Pembunuhan terhadap ketua KNPB wilayah sorong merupakan salah satu kejahatan kemanusian dilakukan oleh Negara terhadap Martinus Yohame.
Martinus Yohame adalah salah salah satu yang korban pembunuhan yang merupakan kejahatan Negara terhadap sejumlah atau pejuang Papua Merdeka pada umumnya dan lebih khusus terhadap Aktivis KNPB yang selaluh jadi korban kekerasan Negara.



Sejak KNPB dibentuk pada tanggal 19 November tahun 2008 sampai dengan saat tahun 2014 jumlah Anggota dan Pengurus KNPB pusat sampai dengan KNPB wilayah sorong sampai merauke berjumlah 29 Aktivis KNPB yang jadi Korban kejahatan Negara. Marinus Yohame ketua KNPB wilayah Sorong adalah korban yang ke 29 .

Penculikan dan pembunuhan terhada ketua KNPB wilayah secara misterius sebelum kujungan presiden Rebuplik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono (SBY ) dalam rangga peresmian acara Pembukaan Sail Raja Ampat di Waisai, Sabtu 23 Agustus 2014.
Selama 5 KNPB berjuang untuk menuntut Hak Penetuan Nasib sendiri ( SELF DETERMINATION ) bagi rakyat Papua Barat KNPB selalu menjadi korban kekerasan Negara tanpa menghargai hak hidup orang lain yang dijamin oleh Hukum nasional dan Hukum internasional terlebih lagi hak hidup yang diberikan oleh Allah sebagai pencipta Lagit dan Bumi termasuk Manusia, dengan demikian yang punya Hak mengambil nyawa Manusia Hanaya Tuhan.

Penculikan pembunuhan selama 5 tahun KNPB berdiri 29 Anggota dan pengurus KNPB pusat Maupun wilayah yang jadi Korban kekerasan Negara, dan hal ini merupakan genosida terhadap manusia Melanesia yang hidup di bumi cendrawasih.

Diketahui Sebelum Almarhum diculik pada tanggal 19 Agustus 2014 pukul 15.00 WPB melakukan konfrensi press dengan sejumlah wartawan di kota sorong. Ketua KNPB Martinus Yohame didampinggi Wakil Ketua KNPB, Kantius H. melakukan jumpa press dengan menghadirkan wartawan dari berbagai media cetak yang ada di sorong papua barat untuk meliput knfrensi press, dalam rangka kedatangan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono SBY. Pada kesempatan KNPB Menolak Kedatangan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) Di tanah papua�.
Makan Komite Nasional Papua Barat KNPB pusat menyeruhkan kepada seluruh wilayah KNPB sorong sampai merauke mengadakan Duka Nasional selama 3 Hari 27-29 Agustus 2014. Berikut adalah pernyataan sikap KNPB terhadap pembunuhan dan penculikan terhadap Ketua KNPB wilayah sorong Martinus Yohame.

1. Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) Gubernur Irian Jaya Barat (IJB) Gubernur Papua Kepala BIN , Pangdam Cendrawasih, Polda Papua segera bertanggung Jawab atas penculikan Ketua KNPB Wilayah Sorong MARTIMUS YOHAME;

2. Kami seluruh Pengurus dan KNPB wilayah sorong sampai merauke mendesak kepada Pangdam Polda Paua Kepala Bin Kopasus Segera bertanggung jawab Ketua KNPB Wilayah Sorong Martinus Yohame ;

3. Aparat TNI/POLRI, BIN, KOPASUS dan Intelejen Indonesia segera hetikan penculikan, Penagkapan, Teror Intimindasi Terhadap Seluruh Aktivis KNPB sorong sampai Merauke;

4. Mendesak Kapolres dan Dandim wilayah sorong segera bertanggung Jawab dan segera mengungkap pelaku pembunuhan dan penculikan terhadap ketua KNPB wilaya Sorong Martinus Yohame;

5. Mendesak Kepada Amesti Internasional, KOMNAS HAM Pusat dan Papua dan lembaga kemanusiaan lainya segera lakukan penjelidikan terhadap Penculikan Ketua KNPB wilayah Sorong Martinus Yohame.
                                                                              

                                                                                          Numbay, 27 Agustus 2014


BADAN PENGURUS PUSAT
KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT (BPP-KNPB)

AGUS KOSAY                                                ONES SUHUNIAP
Ketua I                                                              Sekertaris Umum


Sumber  : Nesta

Jumat, 01 Agustus 2014

KNPB: PEMERINTAH INDONESIA BERHENTI PAKSA ORANG PAPUA KIBARKAN MERAH PUTIH SAMBUT HUT RI


 


Jayapura,1/8(Jubi)- Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengirimkan rilis ke redaksi tabloidjubi.com, (1/8), meminta pemerintah Indonesia untuk berhenti memaksakan orang Papua mengibarkan bendera Merah Putih menjelang HUT RI, 17 Agustus 2014. permintaan ini mencantumkan berbagai alasan mengapa orang Papua tidak perlu ikut merayakan hari kemerdekaan bangsa Indonesia itu.

Sekretaris Umum KNPB pusat , Ones Suhuniap mengatakan Walikota Jayapura Benhur Tommy Mano jangan memaksakan Rakyat Papua untuk mengibarkan bendera Merah Putih, memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia, karena itu menurutnya merupakan sebuah pemaksaan.
Sebelumnya, Wali Kota Jayapura dalam wawancara melalui TVRI Papua, pada tanggal 31 Juli 2014, mengatakan setiap rumah orang harus menaikkan bendera merah putih, jika tidak maka pemerintah akan lakukan sweeping di tiap kompleks dan rumah.
�Kalau itu yang terjadi, pemerintah terus memaksakan, melanggar hak orang lain yang sudah melekat pada setiap orang dan dijamin oleh hukum internasional maupun nasional. Apakah oranga Papua mau pasang bendera atau tidak itu hak mereka? Apa dasar hukum bagi pemerintah memaksakan rakyat mengibarkan bendera merah putih?� katanya.
Menurutnya ,wali kota Jayapura sangat keliru dan harus belajar sejarah perjuangan Indonesia, bahwa kapan orang Papua ikut berjuang untuk Indonesia merdeka ? Orang Papua Barat tidak pernah terlibat dalam sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 dan tidak pernah ikut hadir dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
�Orang tidak pernah akui dan merasa bahwa Papua adalah bagian dari NKRI tidak pernah merasa bangga menjadi bagian dari NKRI oleh sebab itu jangan paksakan,� katanya.
Sebelumnya juga, Penjabat Bupati Mimika, Ausilius You, melalui Asisten III Bidang Administrasi Umum Setda Kabupaten Mimika, Erens Meokbun mengatakan pemerintah daerah setempat akan membagi-bagikan bendera merah putih gratis bagi masyarakat setempat, sebagai bagian dari memerahputihkan wilayahitu pada hari kemerdekaan RI, pengibaran bendera merah putih di seluruh rumah warga akan digelar tanggal 4 Agustus hingga 18 Agustus 2014.
Pihaknya meminta rakyat Papua Barat, tidak harus takut terhadap ancaman pemerintah kota . Adalah hak rakyat untuk tidak ikut berpastisipasi dalam 17 Agustus mendatang. Pihaknya menegaskan bangsa Papua bukan bagian dari NKRRI.
Dia mengatakan,sSelama rakyat Papua Barat belum pernah diberikan ruang demokrasi secara bebas untuk menentukan Nasib sendiri (Self Determination ) melalui Referendum, maka orang Papua Barat akan tetap menolak keberadaan NKRI di Papua.
Terlebih mengingat bahwa Indonesia pada masa perjuangan sampai dengan proklamasi kemerdekaan, katanya, hanya memiliki wilayah teritorial atau batas negara dari Sabang sampai di Amboina) saja. Itu adalah wilayah Indonesia yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun.
Sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun.
Dia mengatakan, meski Papua Barat dan Indonesia sama-sama bekas jajahan Belanda, namun secara administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah.
� Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke,� katanya.
Lebih jauh dia mengatakan, pada 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya.
Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, lanjutnya, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan.
Hal ini menurutnya dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Selain itu, rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. ketika banyak banyak kumpulan pemuda Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.
Tapi tidak pernah satu kumpulan pemuda dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut.
�Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya �Indonesia� itu,� katanya.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Salah satu tokoh proklamator Bangsa Indonesia, Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945, juga menegaskan bahwa ��bangsa Papua adalah bangsa Negroid, ras Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri��.
Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu �Dari Sabang Sampai Amboina�, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
�Dengan demikian orang Papua Barat tidak akan pernah ikuti negara NKRI di Papua Barat.,� katanya.(Jubi/Mawel)

Sumber : Jubi
 
Copyright © 2013 -2018 KNPBnews
Design by FBTemplates | BTT