- Kabidhumas: Pihak Keluarga Bisa Saja Menduga Namun Polisi Harus Berdasarkan Fakta dan Data
Pasalnya PLT.Kepala Kantor Perwakilan Komnas Ham Papua Frits Ramandey mengungkapkan bahwa pihaknya menerima pengaduan yang diberikan oleh anggota KNPB sorong ke Komnas HAM Papua, sejak 26 Agutus lalu ada mayat yang ditemukan dimasukkan ke dalam karung, di ikat kaki dan tangan.
Oleh sebab itu, Frits meminta, agar Polda Papua melalui Polres Sorong harus berhasil mengungkap kasus ini, siapa otak dibelakang pembunuhan sadis ini.
�Kita mendapatkan informasi dari anggota KNPB Sorong, mereka juga menceritakan sebelumnya tanggal 19 Agustus, yang bersangkutan (Martinus Yohame), masih ada, dan memberikan keterangan pers, dan pernyataan terkait dengan kunjungan Presiden SBY ke Sail Raja Ampat,�ungkapnya, saat ditemui di ruang kerjanya,Kamis (28/8),kemarin.
Lanjut Frits ramandey, bahwa sejak yang bersangkutan usai memberikan keterangan pers, 19 Agustus lalu, sejak saat itulah yang bersangkutan tidak ada lagi sampai ditemukan di Pulau Nana, Distrik Doom, tepatnya hari Selasa (26/8) lalu. �Kita lihat motif pembunuhan ini, maka dilakukan oleh kelompok terlatih,�tuturnya.
Frits Ramandey menjelaskan mengapa kasus ini menjadi konsentrasi dari Komnas HAM Papua, karena kejadian ini berkenan dengan kendatangan Presiden SBY di Sorong, maka Martinus Yohame, sebagai aktivis yang memberikan keterangan pers terkait dengan kedatangan Presiden. Dan ini wajar dimana ketika ada kunjungan dari tokoh negara, sering ada keterangan pers atau aksi, untuk mengingatkan Presiden terkait dengan kondisi HAM dan lingkungan. �Jadi ini sebenarnya hal yang baik, dalam rangka mengingatkan negera terkait dengan kondisi di Papua Barat,� tuturnya.
Frits, melihat dari rentetan peristiwa, dimana tanggal 19 Agustus yang bersangkutan memberikan keterngan pers, tanggal 26 Agustus ditemukan tewas, karena itu terkait dengan undang-undang no.39 tahun 1999, tentang HAM pasal 33, dimana setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa, jadi jika kondis ini dibiarkan, maka akan sama dengan kasus-kasus sebelumnya pada periode orde baru, atau sebut saja seperti kematian Theis Hiyo Eluai.
�Kita minta agar Polda Papua melalui Polres Sorong, untuk segera mengungkap, siapa dalangnya,�Dalam waktu dekat, jika tidak maka, akan memalukan institusi Polri,� tukasnya.
Bahkan kata Frits, jika ini dibiarkan lagi, maka akan menjadi preseden buruk bagi kondisi HAM di Papua, terutama terhadap para aktivis, dimana masyarakat internasional akan menilai jika negara tidak memberikan perlindungan kepada aktivis.
Sementara itu mayat seorang warga yang diduga Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong Raya, Marthinus Yohame, akhirnya gagal diotopsi setelah Kepala Suku Wamena yang ada di Sorong, Tias Kogoya, mengambil jenazah tersebut untuk kemudian dilakukan pemakaman di Taman Pemakaman Umum Kilo 10 Sorong, Rabu (27/8) kemarin.
Dengan tidak dilakukannya otopsi ini, otomatis pihak kepolisian akan kesulitan mengungkap penyebab pembunuhan mayat yang diduga bernama MY tersebut. Namun demikian, Kabidhumas Polda Papua, Kombes Pol Sulistyo Pudjo tidak memberikan sinyal bahwa kasus tersebut akan dihentikan penyelidikannya meskipun akan semakin sulit.
�Kemarin beberapa orang yang mewakili keluarga korban dan dipimpin kepala suku mereka datang ke Polres Kota Sorong. Mereka bertemu Kapolres dan Kasat Reskrim dan menyatakan menolak dilakukan otopsi. Padahal polisi menjelaskan kepada keluarga, otopsi adalah syarat mutlak dalam proses penyelidikan kasus dugaan pidaan penyebab, waktu dan modus, dan bukti-bukti di badan korban harus ditentukan dari otopsi,�kata Pudjo kepada wartawan di ruangannya, Kamis (28/8).
Sebagaimana yang telah diberitakan sebelumnya bahwa dari otopsi itu bisa ketahui penyebab kematian korban, apakah karena dipukul dengan benda tumpul, terkena sabetan atau tikaman benda tajam atau bahkan bisa diketahui bahwa korban ditembak dan lain-lain.
�Nanti nanti kalau dihentikan penyidikannya, kasus yang bisa dihentikan itu pertama karena tidak cukup bukti, kasusnya telah kadaluarsa, atau tersangka ternyata telah meninggal dunia. Nah untuk kasus ini belum bisa diarahkan ke sana, jangan-jangan nanti tersangkanya muncul, ada, jadi tidak bisa begitu saja dihentikan,�tambahnya.
Mengenai pihak keluarga dan kepala suku yang sudah mengambil mayat korban atas nama keluarga sehingga bisa disebutkan bahwa korban adalah Marthinus Yohame, Kabidhumas masih belum meyakininya. Pasalnya, kata Kabidhumas, pihak keluarga bisa saja menduga namun pihak kepolisian harus berdasarkan fakta dan data. Jika berdasarkan ciri fisik yang terlihat, memang keluarga korban merasa bahwa mayat tersebut adalah MY.
�Tidak bisa dipastikan karena sudah berapa lama dalam air. Tentu proses penyelidikan dan penyidikan sangat terhambat. Namun kita masih akan melakukan penyelidikan, polisi menyidik bersifat profesional yakni harus berdasarkan bukti, bukan hanya informasi,�tandasnya.(cak/rib/wen
Jum'at, 29 Agustus 2014 , 23:17:00, Sumber : CEPOS